Kusebut Dia Perempuan. BUKAN Wanita!

Satu pertanyaan kecil, samakah ‘perempuan’ dengan ‘wanita’? Hanya semantik. Tapi tidakkah ini penting? Toh, begitu banyak sengketa atau bahkan peradaban yang dimulai dengan kata.

Dan, kemudian, satu petikan sederhana...

“Dengan kata-kata kita membangun jembatan antara satu orang dengan orang lainnya. dengan kata-kata para penindas membangun tirani dibalik paksaan utuk bungkam. bahkan, dengan kata-kata juga…..”

Ah, tapi sudahlah. Bukankah ini cerita tentang perempuan yang agak sulit dipersamakan dengan wanita.

Perempuan terposisikan minor, bahkan sejak dari konteks yang amat sangat dekat. Bahasa, dan bahkan kultural. Bahasa yang setiap hari digunakan. Fenomena kultural yang hadir hampir di tiap denyut kehidupan masyarakat kita. Dan, ini penting. Namun sebagian dari kita melupakannya.

Beberapa teman di sana tentu mengerti dengan norma yang seringkali tumbuh membentuk pola pikir kultural.

Wanita atages wani di tata”. Sebagian tafsir kultural Jawa sempat sangat meyakini ini. Namanya “wanita”, harus wani ditata. Persepsi umum soal ketidaksederajatan wanita dengan pria dapat saja berawal dari sini. Wanita hanya soal objek, ditata sesuai dengan kepentingan penata, dan tidak ada ruang untuk kebebasan menata (mengatur) nasib sendiri.

Ditambah pemahaman buta soal gender specific, bahwa terdapat perbedaan yang sangat mendasar dalam hal pekerjaan antara wanita dengan pria. Pekerjaan-pekerjaan tertentu tidak layak dikerjakan pria lantaran dipandang sebagai pekerjaan wanita. Dan, satu pengibaratan lagi menjadikan konsep kesetaraan sekedar simbolik dan dirasa tidak mengakar pada budaya dan kultural masyarakat.

Wanita ibarat awan dadi theklek bengine ganti dadi lemek (siang jadi bakiak, malam naik pangkat jadi—maaf—alas untuk ditindih). Dan, tentu saja persepsi seperti ini yang terus ditentang kaum feminis. Sebagian orang mengatakan, ini berawal feodalisme konvensional. Membagi masyarakat atas golongan tertentu—bangsawan dan rakyat—yang malangnya, wanita terposisikan pada titik tak kasat mata, paling bawah.

Athur Schopenhauer pun bahkan bicara, kesetaraan adalah sesuatu yang utopis. Sesuatu yang tidak mungkin. Kecantikan wanita adalah kutukan bagi lelaki. Pesonanya merupakan awal kebodohan bagi lawan jenisnya untuk menerima eksistensi wanita secara rasional dan sejajar. Hingga, pemujaan terhadap perempuan hanya sekedar produk Kristianitas dan Sentimentalitas Jerman. Mengecam Eropa, dan sebaliknya memuji Asia yang dipahami lebih mengerti memposisikan wanita sesuai dengan posisi yang layak. Di bawah pria. Bahwa posisi wanita sebagai subordinat dari pria adalah soal wajar.

“Asia mencontohkannya dengan baik”, ungkap Schopenhauer itu. Namun, kita paham ia salah dalam hal ini. Dalam kacamata eksistensialis pun, kemanusiaan tidak pernah dibedakan (dalam konteks ordinat dan sub-ordinat) antara pria dan wanita. Manusia ya manusia. Kebetulan saja ada perbedaan biologis, dan itu wajar. Tidak kemudian menjadikan satu lebih dari yang lainnya. Dan, bagaimana mungkin tubuh perempuan digambarkan sebagai adjektif-adjektif minor dan negatif. Persoalannya adalah bagaimana pemahaman kultural soal kesederajatan ini di-internalisasikan pada masyarakat, khususnya perempuan. Bahwa perempuan bukan objek. Perempuan sama saja dengan laki-laki—entah mungkin lain halnya dengan “wanita”.

Namun, terakhir, bagaimana jika saya bilang, “bersatulah perempuan”. Atau, tidak pun demikian, seorang akan berujar, “berpikirlah perempuan. Sedikit lebih serius. Pertimbangkan eksistensimu, sebagai sebuah entitas penting kemanusiaan yang sejajar dengan pria”. Toh kita sangat mengerti, tidak akan berubah nasib suatu kaum jika tidak kaum itu sendiri yang mengubahnya.

http://febridiansyah.wordpress.com/

Semoga Wanita tetap di hargai.. Ayoo.. maju para wanita Indonesia

0 comments:

Posting Komentar

Archives

My Friend's

About Me

Foto Saya
Rivi
Cewek yg lahir pada tgl 12 Maret setelah kemerdekaan RI (ya.. ealah) hehehe... Lebih tepatnya tahun '85 yang lalu... dibesarkan di kota tercinta ku, Ambon Manise.... (kyk gula...) dr seorang Papa yg asli org Ambon 'en Mami yg asli org Malang... so, klo di campur jadinya JAMBON.. Anak bungsu dari berbagai saudara yang ada di pelosok daerah yang berjajar pulau-pulau..(byk ye....) uda selesai sekolah dan sekarang uda kerja, (tp blm selesai lho!!!;P) blm nikah, dan akan menikah (bentar lg, mo lepas masa single..malu nieh) bagi teman's semua yang mau kenalan lebih lanjut.. boleh deh...
Lihat profil lengkapku